Heandly Mangkali Gugat Polda Sulteng Lewat Praperadilan

0
1129

PALU – Jurnalis media daring Beritamorut.id, Heandly Mangkali, SKM, secara resmi mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Palu. Langkah ini diambil melalui tim kuasa hukumnya dari Kantor Hukum Shane & Co, sebagai bentuk keberatan atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Direktorat Reserse Siber Polda Sulawesi Tengah yang dinilai cacat hukum dan melanggar prinsip-prinsip hukum acara pidana.

Permohonan tersebut diajukan oleh empat kuasa hukum, yakni Dr. Mardiman Sane, SH., MH; Dr. Muslimin Budiman, SH., MH; Purnawadi Otoluwa, SH., MH; dan Abd. Aan Achbar, SH., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 3 Mei 2025. Permohonan praperadilan didaftarkan ke Pengadilan Negeri Palu pada 6 Mei 2025 dengan menetapkan alamat domisili hukum Heandly di Kantor Kuasa Hukumnya di Jalan Merpati IIA No. 25, Kota Palu.

Pihak termohon dalam permohonan ini adalah Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Cq. Direktorat Reserse Siber Polda Sulteng, yang dianggap telah melakukan tindakan penyidikan dan penetapan tersangka secara tidak sah terhadap Heandly.

Permohonan praperadilan ini merujuk pada ketentuan dalam BAB X KUHAP Pasal 77 hingga Pasal 83, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tertanggal 28 April 2015 yang mempertegas bahwa penetapan tersangka dapat diuji melalui mekanisme praperadilan.

β€œPenetapan tersangka terhadap klien kami tidak melalui mekanisme yang sah. Tidak ada ekspose perkara, tidak ada gelar perkara terbuka, dan sangat tidak transparan. Ini menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers,” ujar Dr. Mardiman Sane, koordinator tim kuasa hukum, dalam keterangannya.

Heandly Mangkali, jurnalis yang bermukim di Jalan Towua II No. 41 B, Kelurahan Tatura Selatan, Kecamatan Palu Selatan, menjadi sorotan setelah memuat berita pada 16 November 2024 berjudul β€œIstri Bos di Morut, Main Kuda-kudaan dengan Bawahan” di media Beritamorut.id

Berita tersebut juga dibagikan melalui akun media sosial pribadinya, β€œKaka Gondrong” dan β€œHeandly Mangkali”. Ia menyebut bahwa tindakan tersebut adalah praktik umum yang dilakukan terhadap semua berita yang tayang di media onlinenya.

Namun, tak lama berselang, pada 28 Desember 2024, Heandly menerima surat undangan wawancara dari Direktorat Siber Polda Sulteng berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/B/276/XII/SPKT/POLDA SULTENG/2024 tertanggal 20 Desember 2024. Ia kemudian diperiksa pada 30 Desember 2024 oleh penyidik AIPTU Hasanuddin Usia, S.IP.

Setelah itu, komunikasi antara penyidik dan Heandly sempat terputus hingga pada 17 Maret 2025, Polda Sulteng kembali melayangkan surat panggilan sebagai saksi. Pemeriksaan berlangsung selama lima hari, dari 20 hingga 24 Maret 2025, yang diakhiri dengan penyitaan beberapa barang pribadi milik Heandly berdasarkan Surat Tanda Penerimaan Barang Bukti tertanggal 24 Maret 2025.

Kemudian, secara mengejutkan, pada 26 April 2025, Heandly dihubungi penyidik dan diajak bertemu di sebuah warung kopi. Di tempat itulah, ia menerima Surat Penetapan Tersangka Nomor: B/233/IV/RES.2.5./2025/Ditressiber dan SPDP Nomor: SPDP/04/II/RES.2.5/2025/Ditressiber.

Heandly dikenakan Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan atas UU ITE, dengan ancaman pidana maksimal dua tahun penjara dan/atau denda Rp400 juta.

Kuasa hukum menilai bahwa penetapan tersebut tidak sesuai dengan KUHAP, melanggar Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, serta bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII/2024 tertanggal 29 April 2025. Dalam putusan MK tersebut ditegaskan bahwa delik pencemaran nama baik hanya berlaku terhadap individu, bukan institusi, kelompok, ataupun profesi.

β€œPenetapan ini sangat janggal karena tidak ada tahapan yang sahih menurut hukum acara. Terlebih, yang dilaporkan adalah berita yang sudah melalui proses redaksi dan menyangkut kepentingan publik,” tambah Purnawadi Otoluwa, salah satu anggota tim hukum.

Pihaknya juga menegaskan bahwa kasus ini berpotensi menjadi bentuk kriminalisasi terhadap jurnalis yang tengah menjalankan fungsi kontrol sosial dan kerja jurnalistik yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Dalam permohonan praperadilan, pihak Heandly meminta kepada Pengadilan Negeri Palu agar:

Menyatakan tindakan penyidikan dan penetapan tersangka tidak sah;

Membatalkan seluruh proses penyidikan atas nama Heandly Mangkali;

Memerintahkan penghentian segala bentuk penahanan dan proses hukum lanjutan;

Menghukum Polda Sulteng untuk membayar ganti rugi sebesar Rp100 juta secara tunai.

β€œKami ingin ini menjadi preseden hukum yang melindungi jurnalis dari penyalahgunaan kekuasaan. Praperadilan ini adalah panggung untuk menguji komitmen penegak hukum terhadap konstitusi dan demokrasi,” tegas Dr. Muslimin Budiman.

Hingga saat ini, pihak Polda Sulawesi Tengah belum memberikan tanggapan resmi terhadap permohonan praperadilan tersebut.

Permohonan ini bukan hanya menyangkut nasib seorang jurnalis, melainkan menjadi cerminan dinamika kebebasan pers di tengah penerapan UU ITE yang kerap menuai kritik dari berbagai kalangan.

Proses persidangan praperadilan ini direncanakan akan digelar dalam waktu dekat di Pengadilan Negeri Palu. Publik dan komunitas pers nasional kini menaruh perhatian serius terhadap jalannya proses hukum ini, yang bisa menjadi tolak ukur komitmen aparat terhadap perlindungan hak-hak jurnalis di Indonesia.(*)

LEAVE A REPLY